Selasa, Maret 22, 2016

Merindu Cahaya de Amstel by ARUMI E ~ Kisah Sang Penangkap Cahaya || Review Novel



Assalamu’alaikum temans...! Apa kabar? Semoga selalu sehat yaa, amiin...
Selamat datang kembali di Catatan Nunaa. Di bulan maret ini ada novel yang baru saja selesai aku baca. Seperti review novel sebelumnya, novel ini juga hasil dari berburu giveaway di tahun 2015 kemarin. :D
Dan karena ini adalah novel pertama yang aku baca dari karya penulis yang satu ini, seperti biasa kita sedikit mengenal dulu tentang penulisnya yaa.
Novel Merindu Cahaya de Amstel ini adalah karya Arumi E, seorang lulusan arsitektur kelahiran Jakarta tanggal 6 Mei. Mba Arumi sangat senang menekuni dunia menulis dan hasil karyanya yang berupa cerpen remaja dan cerpen anak banyak dimuat di berbagai majalah nasional. Selain senang menonton film drama romantis dan serial detektif, Arumi suka juga mendengarkan musik The Beatles loh!
Tahajud Cinta di Kota New York (Zettu), Jojoba (DeTeens), Amsterdam Ik Hou Van Je (Grasindo), Monte Carlo (Gagas Media), Cinta Valenia (Elex Media), Eleanor (GPU) adalah beberapa novel beliau yang telah terbit. Dan suatu saat nanti pemilik twitter @rumieko ini berharap bisa berkunjung ke negara-negara yang menjadi setting novel-novelnya.
~ ◊◊◊ ~


Judul Buku : Merindu Cahaya de Amstel
Penulis : ARUMI E
Jenis Buku : Romance Islami
Desain Cover : Shutterstock & Suprianto
Editor : Donna Widjajanto
Tata letak isi : Fajarianto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Tahun 2015
Tebal Buku : 276 halaman
ISBN : 978-602-03-2010-6
Reward Giveaway Merindu Cahaya de Amstel di ridhodanbukunya.wordpress.com
02 – 07 November 2015

“Kita mungkin tak bisa menjadi sempurna, tapi selalu ada kesempatan menjadi lebih baik.” 


~ Sinopsis ~

Cahaya mentari sore menciptakan warna keemasan di permukaan Sungai Amstel. Mengingatkan Nicolaas van Dijk, mahasiswa arsitektur yang juga fotografer, pada sosok gadis Belanda dengan nama tak biasa, Khadija Veenhoven. Gadis yang terekam kameranya dan menghasilkan sebuah foto “aneh”.
Rasa penasaran pada Khadija mengusik kenangan Nico akan ibu yang meninggalkannya saat kecil. Tak pernah terpikir olehnya untuk mencari sang ibu, sampai Khadija memperkenalkannya pada Mala, penari asal Yogya yang mendapat beasiswa di salah satu kampus seni di Amsterdam.
Ditemani Mala, Nico memulai pencariannya di tanah kelahiran sang ibu. Namun Pieter, dokter gigi yang terpikat pada Mala, tak membiarkan Nico dan Mala pergi tanpa dirinya. Dia menyusul dan menyelinap di antara keduanya.
Tatkala Nico memutuskan berdamai dengan masa lalu, seolah Tuhan belum mengizinkannya memeluk kebahagiaan. Dia didera kehilangan dan rasa kecewa itu dia lampiaskan pada Khadija yang telah mengajarinya menabur benih harapan.
Kembali Nico mencari jawaban. Hingga sinar yang memantul di permukaan Sungai Amstel menyadarkannya. Apa yang dicarinya ada di kota Amsterdam ini dan sejak awal sudah mengiriminya pertanda. Akankah kali ini Nico berhasil memeluk kebahagiaannya?
~ ◊◊◊ ~

~ My Review ~

Nicolaas Van Dijk adalah pemuda Belanda campuran Indonesia. Mahasiswa arsitektur yang juga fotografer lepas. Nico menyukai street photography. Di jalanan, terkadang dia menemukan sesuatu tak terduga yang menjadi gambar menarik setelah terekam kameranya. Salah satu foto yang menarik perhatiannya adalah foto seorang gadis berkerudung yang sedang duduk membaca buku di rerumputan. Foto itu menjadi tidak biasa karena ada semburat cahaya mengelilingi tubuh gadis itu. Gadis yang tidak sengaja ditabraknya saat ia asyik memotret. Gadis muslim berwajah Eropa.
“Dia bukan sejenis malaikat, kan?” – Nico
(Hal.6)
Karena foto tak biasa itu Nico nekad mencari dan mendatangi gadis itu. Ia memperkenalkan diri dan meminta ijin memotretnya. Namun gadis bernama Khadija itu menatapnya curiga dan menolak dengan tegas. Nico yang penasaran tidak menyerah begitu saja, ia malah mengambil foto Khadija diam-diam. Dan ternyata di foto berikutnya tidak ada cahaya aneh pada foto Khadija.
“Aku penasaran kenapa kamu tertarik dengan Islam. Sementara aku justru punya pengalaman tidak enak tentang itu.” – Nico
(Hal.23)
Khadija yang ternyata seorang mualaf, mengingatkan Nico pada sosok mamanya yang juga seorang muslim. Mama yang meninggalkannya saat kecil dan memberikannya kenangan pahit yang membuatnya kecewa dan patah hati karena ditinggalkan.
Suatu ketika Nico meminta ijin pada Khadija untuk memuat fotonya di majalah karena ada tema yang cocok dengan foto itu. Namun Khadija tetap keberatan. Khadija malah memperkenalkan Nico dengan Mala, penari asal Yogya. Khadija pun menyarankan Nico memotret Mala. Profil Mala yang seorang penari tradisional Indonesia yang mendapat beasiswa belajar tari kontemporer di Amsterdam pasti menarik untuk dimuat di majalah.
Mengenal Mala kembali mengingatkan Nico pada mamanya yang seorang wanita jawa. Ucapan Mala yang mengatakan kalau Nico merindukan mamanya mengusik batin Nico. Memunculkan perasaan yang selama ini dipendamnya. Dan secara tiba-tiba saja ide untuk ke Indonesia muncul. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehnya.
Dengan ditemani Mala yang kebetulan pulang ke Indonesia untuk menghadiri undangan menari di acara festival tari Internasional di Yogya, Nico pun mencari keberadaan ibunya.
Bagaimana pertemuan Nico dengan ibunya yang sudah berpisah selama enam belas tahun? Dan apa yang terjadi pada Nico ketika akhirnya dia harus kehilangan lagi?
Lalu, bagaimana pesona seorang Khadija sehingga dapat mempengaruhi orang-orang terdekatnya, seperti Mala, Pieter, bahkan Nico?
~ ◊◊◊ ~

~ My Opinion ~

Novel ini berkisah tentang beberapa tokoh diantaranya Nico, Khadijah, Mala, dan Pieter. Walau porsi kisah Nico dan Khadija lebih banyak, cerita tentang Mala dan Pieter juga sangat menarik perhatian. Penggunaan Pov ketiga membuat kita diajak mengenal pribadi dan kehidupan keempatnya lebih dalam. Nico yang memendam kekecewaan sekaligus kerinduan kepada ibunya yang meninggalkannya sejak kecil. Khadija yang karena keputusannya menjadi mualaf membuat hubungannya dengan orangtua dan saudaranya menjadi renggang. Ada juga Mala yang berusaha keras menyelesaikan kuliahnya di Amsterdam dan terpaksa harus jauh dari keluarganya di Indonesia. Dan Pieter, sepupu Khadija, yang karena penasaran akhirnya menemukan cahaya dalam kehidupannya.
Novel ber-setting di Belanda, khususnya Amsterdam ini, membawa kita seperti berjalan-jalan di sana dan mengetahui bagaimana kehidupan orang-orangnya. Kita akan disajikan penggambaran tentang pemandangan senja di tepian Sungai Amstel, suasana di sekeliling Museumplein, juga kegiatan di Gedung Euromuslim Amsterdam. Yang menarik, orang Amsterdam menyukai memakai sepeda sebagai alat transportasi. Selain ke Amsterdam, novel ini juga membawa kita ke Yogya, Jakarta dan Bali, mengikuti perjalanan Nico berburu gambar-gambar yang menarik dan indah.
Selain membawa aku berjalan-jalan ke beberapa tempat, novel ini juga cukup membuat terharu. Di beberapa part aku sempat meneteskan air mata. Tapi aku tidak akan mengungkapkan kisah mana saja yang sukses membuat sesak itu, takut spoiler hehee. Oya, dalam novel ini juga mba Arumi mengenalkan kita dengan beberapa kata/frase/kalimat dalam bahasa Belanda.
Aku baru pertama kali membaca novel karya Mba Arumi, dan aku suka sekali dengan novel ini. Novel bergenre spiritual begini memang selalu membuat hati adem juga menohok diri sendiri. Aku merasa disadarkan ketika membaca kisah seorang Khadija yang baru menjadi mualaf selama 2 tahun, tapi begitu total menjalankan hidupnya sebagai the real muslimah, dari sikapnya, cara berpakaian, sampai konsep pergaulan antar lawan jenis. Sementara aku yang terlahir sebagai seorang muslimah, baru menjalankannya setengah-setengah. Aku dibuat kagum dengan pribadi Khadija dan pesonanya yang dapat membuat orang-orang yang mengenalnya menemukan cahaya dalam kehidupan mereka.
Kalau boleh kritik, menurutku sinopsis di belakang buku terlalu detail. Uraiannya sangat jelas sehingga aku sendiri sudah bisa menebak kemana ceritanya akan bergulir. Walau begitu tetap ada kejutan dalam cerita ini, tentang Pieter terutama, dan aku sangat excited mengikuti kisah Pieter ini. Sementara untuk masalah penulisan novel ini minim typo, aku hanya menemukan tiga kali typo. Good job! Jadi membaca novel ini nyaman sekali tanpa banyak gangguan typo. :D
Oya, aku juga mau berbagi sedikit tentang pengucapan salam. Ketika memasuki rumah, orang muslim selalu mengucapkan ‘assalamualaikum’, dan orang yang mendengarnya wajib menjawab ‘waalaikumsalam’.  Nah jika kita masuk ke dalam rumah yang dalam keadaan kosong dan tidak ada orang yang akan menjawab salam, maka mamaku mengajarkan untuk mengucapkan ‘assalamualaina wa’ala ibadillahis solihin’ sebagai salam. Itu aja sih, semoga bermanfaat.
Ada beberapa kalimat menarik dan penuh makna yang tersebar dalam novel ini, diantaranya:
“Aku seorang yang memandang ke depan. Tidak terpengaruh dengan masa lalu seseorang.”
–Nico- (hal.97)
“Aku tidak akan memaksamu menjalani hidup seperti aku. Karena yang akan menjalani hidupmu adalah dirimu sendiri. Kamu yang paling tahu seperti apa cara hidup yang paling nyaman buatmu.”
 –Khadija- (hal.99)
“Soal dosa atau tidak dosa, Cuma Allah yang berhak menilai.”
“Kita sama-sama menuju kebaikan pelan-pelan.”
“Semua butuh proses. Allah menilai proses yang kamu lalui. Yang penting kamu sudah berusaha menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.”
–Khadija- (hal.100)
“Semoga Allah memberi aku kesempatan memperbaiki diri sedikit demi sedikit.”
 –Mala- (hal.100)
“Apa harus ada penjelasannya? Kamu yang bilang sendiri masalah keyakinan adalah hal yang personal. Efeknya berbeda pada setiap orang. Tiap orang punya rasa nyamannya sendiri tentang bagaimana cara menjalani hidup.”
 –Pieter- (hal.162)
“Seriuslah berusaha mewujudkan tekadmu, jangan cuma bermimpi.”
–Nico- (hal.171)
“Kalau kamu sudah punya niat kuat ingin mewujudkan sesuatu, selalu ada jalan untuk mencapainya. Itu law of attraction namanya. Yakinlah dengan keinginanmu.
 –Nico- (hal.184)
Novel ini mengingatkanku kalau sudah lama banget aku tidak membaca novel bertema religi yang selalu sukses menyentuh jiwa dan membangkitkan sisi keimananku yang naik turun, terutama saat membaca cerita tentang Khadija. Novel ini bagus dan layak dibaca siapa saja. Seperti judulnya, Merindu Cahaya De Amstel, semoga pembaca dapat menemukan cahaya dalam hidupnya kembali seperti para tokoh dalam kisah ini.
So, selamat membaca ya! ;)
~ ◊◊◊ ~

“Kita mungkin tak bisa menjadi sempurna, tapi selalu ada kesempatan menjadi lebih baik.”   
( Arumi E )


Salam
Nunaalia ^_^